Masyarakat umum telah mengetahui bahwa istilah perempuan
“tersembunyi” dalam sejarah. Pandangan ini tidak lain disebabkan oleh
penelitian dan penulisan sejarah yang cenderung pada masalah sekitar politik
dan kekerasan. Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah menyatakan bahwa
“dua hal yang selalu menjadi milik kaum laki-laki” yaitu politik dan kekerasan.
Oleh karena itu
rekonstruksi sejarah kita bercorak androsentris,
karena sejarah berpusat pada kegiatan kaum laki-laki. Banyak sejarawan
mengabaikan kaum perempuan karena dalam pikiran mereka yang signifikan adalah
suatu hal yang nyata di bidang politik dan ekonomi. Laki-laki aktif dan
perempuan pasif, kehidupan perempuan dianggap timelessness tak dibatasi oleh waktu atau berpusat pada mengandung
dan memelihara anak dalam lingkungan keluarga. Gambaran masa lalu semacam itu
tentu saja tidak adil, karena melihat perempuan sebagai second sex semata-mata.
Dalam tokoh pewayangan,
seorang perempuan Jawa sebenarnya telah membuat sejarah. Tokoh istri Arjuna
seperti Srikandi dan Larasati memberikan citra tersendiri tentang psikologi
perempuan yang selain lemah lembut ternyata mampu berperang. Hal ini membuat
sosok Arjuna menjadi panik dengan dualisme sifat perempuan yang saling bertolak
belakang. Akan tetapi, dari sekian sosok perempuan dalam dunia pewayangan,
lebih banyak perempuan yang bersifat layaknya perempuan yang lembut dan
terkesan lemah.
Berabad-abad lamanya
perempuan dianggap sebagai makhluk aneh yang merupakan sumber dari segala
kejahatan. Seperti yang disampaikan di atas posisi perempuan pun selalu berada
di golongan kelas dua bahkan cadangan. Kesalahpandangan yang selalu
berorientasikan laki-laki menimbulkan dampak tersendiri bagi perempuan.
Kesalahan yang dilakukan perempuan, biasanya akan mendapatkan hukuman dua kali
lebih besar dibanding laki-laki. Seorang perempuan yang berselingkuh maka dia
akan mendapat “hukuman” sosial yang jauh lebih berat dibanding laki-laki yang
main dengan perempuan lain. Laki-laki selalu memiliki peluang kekuasaan yang
jauh lebih tinggi dari perempuan.
Perempuan dalam konteks
budaya Jawa sering disebut sebagai kanca
wingking (teman di belakang) oleh suaminya, seluruh nasib perempuan berada
di tangan suami. Swarga nunut, neraka
katut (ke surga ikut, ke neraka juga terbawa). Namun, dalam keadaan yang
selalu berada di bawah laki-laki. Hal ini dianggap sebagai kodrat bagi
perempuan sejak lahir. Dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial oleh
Dr. Mandour Fakih dikatakan bahwa telah terjadi “kerancuan dan pemutarbalikan
makna tentang apa yang disebut seks dan gender” yaitu dimana dewasa ini terjadi
penegakan pemahaman dalam masyarakat, dimana sesungguhnya gender, karena pada
dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti biologis
atau ketentuan Tuhan. Hal ini kemudian sering disebut dengan “kodrat perempuan”
adalah konstruksi sosial dan kultural atau gender.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa ketika orang berbicara tentang gender, maka konotasinya pada perempuan.
Hal ini disinyalir oleh Joan Wallace Scott bahwa dalam arti yang sederhana
“gender” sinonim untuk “perempuan”. Kemudian dapat disimpulkan sementara bahwa
arti istilah gender adalah hasil dari kontruksi masyarakat dan bukan kodrat.
Seperti yang dikemukakan oleh Jane Sherron de Hart dan Linda K. Kerber dalam
artikelnya yang berjudul “Gender and the
New Women’s History” bahwa “gender it
self is a social construction”, pernyataannya menjelaskan bahwa jelas
terdapat perbedaan dari istilah gender dan seks.
Pernyataan ini juga
mendapat dukungan dari Kamla Bhasin yang mengutip Ann Oakley bahwa “Gender”
adalah masalah budaya, ia merujuk kepada klasifikasi sosial dari laki-laki dan
perempuan menjadi “maskulin” dan “feminisme”, 99 kriteria yang bersifat budaya,
berbeda karena waktu dan tempat. Sejarawan feminis menolak kontruksi hierarki
dalam hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Mereka berusaha mengubah
dan membalikkan pemikiran itu, seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa
kaum feminis yang radikal “mencoba menyadarkan perempuan akan sisterhood” untuk
meggantikan istilah “brotherhood”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar