Ketika masa Liberal berlangsung, devisa yang didapat
dari perdagangan ekspor telah menutup seluruh kas Hindia Belanda bahkan menjadi
surplus. Hal ini membuat negara jajahan menaikkan cost pengeluarannya dari 667 juta gulden pada tahun 1924 menjadi
903 juta gulden di tahun 1929. Tetapi kemakmuran yang didapatkan tidak memiliki
dasar yang kuat. Ketika tahun 1926 produksi di Hindia Belanda terus meningkat, sedangkan
pasaran dunia mulai menyusut. Hal ini dikarenakan masuknya produksi gula bit
dari India dan meningkatnya produksi gula di Jepang di tahun yang sama. Sejak
tahun 1926 harga gula terus menurun, disusul harga timah dan karet. Pada tahun
1930 terjadi gagal panen yang skalanya luas, ditambah pula dengan krisis yang
terjadi di Wallstreet. Hal ini membuat jatuhnya harga produk pertanian Hindia
Belanda, sedangkan barang impor tetap pada level harga yang sama sebelum
krisis. Posisi yang tidak seimbang ini membuat harga-harga menjadi melambung
tinggi dan inflasi tak terkendali. Meskipun barang-barang impor Jepang lebih
murah, akan tetapi tetap saja harganya masih terlalu tinggi di dalam koloni
jajahan.
Tahun 1930 menjadi tahun malapetaka yang membuat
kesejahteraan masyarakat di Hindia Belanda tergoncang. Orang Eropa yang
terbiasa hidup mewah tiba-tiba harus jatuh miskin. Harta benda mereka diambil
oleh pegadaian untuk menutupi utang usaha mereka atau untuk mengganti
pengeluaran dari gaya hidup mereka yang bermewah-mewahan. Akhir tahun 1932,
tercatat ada 5.520 orang Eropa dan Indo-Eropa yang menjadi pengangguran. Orang-orang
pribumi juga tidak kalah sengsara. Meski tanah mereka dikembalikan oleh
perkebunan dan dapat ditanami kembali oleh padi, akan tetapi di saat yang sama
kuli-kuli dari luar pulau Jawa kembali yang pada hakikatnya juga butuh makan.
Oleh karena itu, makanan yang diterima sama saja bahkan lebih sedikit dari masa
sebelumnya. Sedangkan di kantong orang pribumi tak ada satupun uang yang
dipegang, sehingga mau tidak mau mereka harus menjual barang-barang mereka atau
meminjam uang.
Sedangkan posisi orang Cina sendiri juga mengalami
masa sulit. Akan tetapi tidak membuat mereka terguncang dan semuanya kembali
normal. Hal ini dikarenakan orang-orang Cina masih menyimpan modal-modalnya,
sehingga mereka masih bisa bangkit kembali. Para pengusaha Cina yang bermodal
inilah yang banyak memberikan pinjaman uang kepada masyarakat dengan
bunga-bunga tertentu. Selain itu juga muncul orang-orang Cina totok yang
sebelumnya berjualan eceran menjadi pedagang yang sekaligus menjadi pemberi
kredit pada masyarakat desa. Mereka ini sering dikenal dengan sebutan Cina Mindering, Singkeh Mindering dan Tukang Mindering.
Sampai
tahun 1930, sensus menunjukkan sekitar 5.336 orang Cina di Jawa memiliki
pekerjaan sebagai peminjam uang (selanjutnya akan disebut Mindering). Suatu hal yang menarik bahwa mayoritas para Mendering ini adalah orang-orang Cina totok, terutama klan Hokchia. Orang Cina totok ini cenderung di pedalaman atau
pedesaan karena terkait ekonomi mereka yang masih kecil. Meskipun ada beberapa
kaum Hokchia yang melakukan bisnis di perkotaan tetapi daerah-daerah
pedesaanlah yang menjadi wilayah operasi bisnis mereka. Dengan dibekali sepeda,
bahan-bahan pokok bermutu rendah dan beberapa uang, mereka berkeliling desa dan
menawarkan barang dagangan, dijual secara kontan maupun cicilan sekaligus
peminjaman sejumlah uang dan pada sore harinya mereka kembali. Dalam pengumpulan
modalnya mereka melakukan patungan atau pengumpulan uang (hui) dari masing-masing anggota, anggota terdiri dari 10 hingga 30
orang. Sistemnya sama dengan arisan pada masa sekarang. Setiap bulan mereka
mengumpulkan modal. Siapa yang menjadi pemegang modal ditentukan oleh lotre.
Kegiatan
para Mindering ini terkait langsung
oleh para petani di pedesaan-pedesaan dan bidang pertanian, biasanya akan
diakhiri dengan penyitaan lahan atau tanah persawahan jika utang tidak dapat
dibayar. Di sisi lain, si Mindering
ini juga dapat bertindak sebagai seorang pengusaha dimana petani biasa menjual
hasil panen mereka. Dalam beberapa kasus, hasil sawah seringkali dijual sebelum
masa panen tiba, seperti sistem ijon.
Banyak sekali situasi dimana para pemberi pinjaman ini mau memberikan pinjaman
kepada petani. Sebenarnya beberapa orang yang memberi pinjaman bisa disebut
ilegal dan bertentangan dengan hukum.
Dampak
dari krisis yang terjadi tahun 1930 sangat mempengaruhi kehidupan petani-petani
di desa. Faktor penyebab yang menambah penderitaan masyarakat pedesaan mungkin
saja karena kegiatan para tukang kredit-kredit ini. Mereka dianggap sebagai
lintah darat oleh masyarakat pribumi, akan tetapi mereka tidak kuasa ketika
kenyataannya mereka harus meminjam lagi dan lagi kepada para peminjam uang ini.
Pengenalan sistem uang pada abad 19 tidak menjadi tolak ukur dalam pemahaman
masyarakat desa mengenai spekulasi di bidang moneter. Hal ini yang memudahkan
mereka menjadi mangsa bagi singkeh Mindering
ini.
Tidak
lagi menjadi hal aneh ketika pada akhirnya bunga pinjaman bisa berlipat sampai
700% per tahunnya, meskipun awalnya para petani hanya meminjam beberapa gulden
saja. Para tukang Mindering ini tidak
membatasi kegiatannya pada lingkup petani pedesaan saja, tetapi mereka juga
merambah pada lingkup kepala-kepala desa dan pejabat lokal. Bahkan pada tahun
1924, keluarga bangsawan Solo telah banyak terjerat oleh para kreditur-kreditur
ini. Selain itu korban mereka juga para orang-orang Eropa di daerah perkotaan.
Ketika kemewahan menjadi gaya hidup, maka mereka mencari jalan pintas meminjam
uang dengan bunga yang sangat tinggi dan terbiasa menggadaikan sertifikat
tanahnya.
Bagaimanapun
juga hubungan antara si peminjam dan yang dipinjami tidak akan berakhir sebelum
hutangnya lunas. Kontak ini biasanya bersifat open-ended, karena hubungan ini akan terus berlangsung lama dan
berkelanjutan. Berbeda dengan klan lain yang lebih bersifat dead-end atau hanya sebatas pembeli dan
penjual dan berlangsung kontak seketika. Meskipun sifat antagonis sering
melekat pada klan Hokchia, akan tetapi lewat produk perdagangan dalam bentuk
kredit inilah interaksi antar etnis dapat berlangsung didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar