Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1762. Kemunculan
paham ini ditandai dengan berdirinya loge–loge di kota-kota dagang yang besar
di pesisir seperti Semarang Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan
di kota kota tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat.[1]
Loge yang pertama kali didirikan di tanah Jawa ialah ” La Choisie ( Terpilih ) ” di Batavia atas prakarsa J.C.M
Radermacher, akan tetapi loge ini tidak berumur panjang. Kemudian disusul
pendirian loge ” La Vertueuse (
Kesucian ) ” dan ” La Fidele Sincerite
( Kesetiaan Ikhlas ) ” di Batavia. Pada tahun 1801 didirikan loge ” La Constante et Fidele ( Selamanya Setia
) ” di Semarang oleh seorang anggota Mason yang bernama Nicolaas Engelhard yang
sekaligus diangkat sebagai ” Suhu Agung Nasional dan Pejabat-pejabat Besar
Tarekat Republik Batavia”. Dimulai dari Engelhard yang menjalankan funsinya
hingga ia digantikan sederetan panjang wakil-wakil Suhu Agung yang melaksanakan
kekuasaan Masonik tertinggi. Selain itu juga didirikan loge ” De Vriendschap ( Persaudaraan ) ” di
Surabaya, loge ”Mataram” di
Yogyakarta pada tahun 1870 dan masih banyak lagi loge-loge yang didirikan.
Loge ” Mataram ” didirikan pada tahun 1870 karena jumlah orang Eropa yang
berada di Yogya sangat mendominasi. Hal ini karena para raja semi-merdeka
memberikan hak-hak guna usaha di bidang pertanian yang dipimpin orang Eropa.
Nama Mataram diilhami para pendiri loge yang sadar akan kebesaran Jawa. Setahun
setelah pendirian loge tersebut tepatnya tahun 1871, Pangeran Ario
Soerjodilogo, keturunan dari Sultan-sultan Mataram masuk menjadi anggota loge
tersebut.[2]
Selain itu ada dua orang Tionghoa yang diterima dalam loge tersebut.
Hubungan - hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa dibanding daerah lain
seperti Batavia dimana unsur Eropa sangat dominan. Karena Yogyakarta selain
menjadi kedudukan Pura Paku Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi
keturunan Sultan Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi
kebudayaan Jawa.
Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami
perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebijakan kolonial
Belanda rupanya beralih dari bentuk pengeksplotasian menuju suatu bentuk
keprihatinan atas kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena
banyak bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang dilontarkan
orang-orang liberal di parlemen. Sehingga banyak suara orang-orang Belanda yang
mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.[3]
Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang
masih muda dalam Troonrede kenegaraan
mengumumkan suatu penyelidikan terhadap kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah
Politik Etis telah disahkan oleh Ratu Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan
Jajahan mengerucutkan prinsip Politik Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi,
pendidikan dan transmigrasi penduduk.
Situasi ini mendapat respon yang di
dalam anggota Kemasonan, hal ini terlihat dari dua kali kongres Masonik yang
pada akhirnya keputusan terkait tentang sosial dan pendidikan didukung oleh
seluruh anggota Kemasonan. Hal ini diwujudkan para golongan Mason dalam bentuk
sekolah Frobel atau taman
kanak-kanak, rumah panti bagi yatim piatu dan orang buta, perpustakaan rakyat,
sekolah kejuruan bagi perempuan dan laki-laki, dana pakaian sekolah, dana-dana
studi, asrama-asrama, dan wisma-wisma militer.[4]
Dari
hal-hal di atas diketahui bahwa terlepas dari kiprah Golongan Kemasonan yang
berusaha dalam melaksanakan tugas-tugasnya, serta meningkatkan eksistensi
dirinya di dalam masyarakat. Orang-orang Mason juga aktif bergerak dalam
aktivitas sosial maupun pendidikan. Hal ini dikarenakan situasi politik yang
dilakukan Belanda guna mengubah paradigma Hindia Belanda yang miskin dan
terbelakang lewat 3 jalan keluar yang ditawarkan oleh penjajah Belanda, yakni
pengairan, edukasi, dan perpindahan penduduk.
A.
Golongan Mason di Vorstenlanden
Yogyakarta
Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri
Para Sultan ) ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta pada tahun
1870 atas prakarsa tiga puluh orang anggota Mason. Diantaranya terdapat nama – nama
seperti Weijnschenk, Raaff, Soesman, dan Monod de Froindeville. Mereka adalah
orang - orang Indo - Eropa yang kaya, yang pada awal abad membeli tanah - tanah
yang luas dari Sultan dan berhasil mengembangkannya.[5]
Yang menarik adalah para pendiri loji di Yogyakarta tidak ada satupun
diantaranya yang berasal dari Bumiputra, hanya satu yang berasal dari Tionghoa.
Pemilihan nama Mataram pada loji menunjukkan bahwa para Mason Bebas Yogya sadar
akan masa lampau Jawa yang besar.
Perkembangan golongan Mason di Yogyakarta dimulai dengan
terobosan masuknya seorang Bumiputra dari golongan bangsawan, yaitu pangeran
Ario Soerjodilogo[6]
pada 1871 ( setahun setelah pendirian loji Mataram ). Bergabungnya Pangeran
Ario Soerjodilogo menambah prestise bagi golongan Kemasonan di mata elite
Bumiputra lainnya.
Hubungan -
hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa dibanding daerah lain seperti Batavia
dimana unsur Eropa sangat dominan. Karena Yogyakarta selain menjadi kedudukan
Pura Paku Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi keturunan Sultan
Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi kebudayaan Jawa. Usaha –
usaha untuk mendapatkan dukungan dari Keraton Yogyakarta tampaknya sudah
dipersiapkan dengan sangat matang. Hal ini terlihat dari kemurahan hati Sultan
yang menyewakan sebuah gedung di jalan utama Yogyakarta, Jalan Malioboro, untuk
digunakan sebagai loji atau kuil Mason.
Sejak akhir abad 19, beberapa anggota telah berhubungan baik dan menanam
paham Mason di kalangan keluarga Paku Alaman. Setelah Paku Alam V ( Pangeran
Ario Soejodilogo ) bergabung, banyak keluarga raja yang masuk menjadi anggota,
seperti Paku Alam VI, Paku Alam VII, K.P.H Notodirdjo, K.R.T Tirtokusumo, R.M.T
Ario Kusumo Yudho dan sebagainya.
Pangeran Notodirdjo adalah seorang bangsawan yang amat disegani.[7]
Dirinya merupakan putra ketiga dari Paku Alam V dan pernah menjadi Dewan
Perwalian Paku Alaman ( Raad van Beheer
) yang mendapat kepercayaan memerintah Kadipaten Paku Alaman yang saat itu
sedang vakum karena mangkatnya Paku Alam VI. K.P.H Notodirdjo bergabung dengan
golongan Mason pada tahun 1887 hingga akhir hayatnya pada tahun 1917.[8] Ia
dinilai anggota yang aktif mendukung pergerakan rakyat untuk kemajuan dan
berani membicarakan keinginannya untuk meningkatkan pengajaran bagi penduduk
Bumiputra dalam kongres mason di Batavia pada bulan Desember 1911.
Lingkungan keluarga Paku Alaman mulai menyadari bahwa keterbelakangan yang
terjadi di dalam masyarakat kolonial hanya dapat diubah melalui modernisasi
masyarakat. Usaha – usaha yang memungkinkan semua itu adalah melalui pendidikan
Barat yang membuka jalan bagi dunia baru dan sebagai cara untuk menciptakan
elite – elite baru yang dapat melakukan perubahan.
Dalam lingkungan Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak di bidang
sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan telah menjadi topik utama
yang menjadi Golongan Kemasonan, selain menjadi kebijakan seluruh loji di
Hindia Belanda. Sehingga pada tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral
dan ”sekolah – sekolah Frobel Yogya”.[9]
B.
Sekolah
– Sekolah di Yogyakarta
Sebelum
mengenal dan mendapatkan pendidikan modern dari Belanda, masyarakat Yogyakarta
telah mengenal adanya pendidikan yang sifatnya religius ( Islam ) dan
pendidikan yang sifatnya tradisional. Selepas maghrib, anak laki – laki maupun
perempuan berbondong – bondong pergi ke langgar untuk menuntut ilmu agama pada
guru – guru mereka hingga menjelang solat isya’ tiba. Mereka diajar secara
individual dan menghadap gurunya satu persatu setelah membaca atau menghafal
kitab suci. Disini murid – murid mendapat ilmu mengaji dan menghafal kitab
suci, selain itu mereka mendapat bekal ilmu akhlak dan sebagainya. Uang untuk
iuran tidak ditetapkan jumlahnya, tergantung pada kerelaan orang tuanya, hanya
biasanya setiap bulan selalu ada iuran untuk membeli minyak tanah untuk bahan
bakar penerangan.[10]
Pendidikan
tradisional yang diperoleh anak – anak ialah pelajaran menulis huruf Jawa,
menyanyi ( tembang macapat ), pendidikan yang sifatnya tata krama, budi
pekerti, dan sejarah. Pendidikan model ini banyak dilakukan di rumah – rumah
bangsawan keraton. Usaha ini sebagai bentuk kesadaran untuk memelihara dan
memiliki warisan kebudayaan Jawa. Kesadaran ini yang menciptakan generasi –
generasi yang bisa membaca dan menulis huruf Jawa.
Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami
perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebijakan kolonial
Belanda rupanya beralih dari bentuk pengeksplotasian menuju suatu bentuk
keprihatinan atas kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena
banyak bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang dilontarkan
orang-orang liberal di parlemen Belanda. Sehingga banyak suara orang-orang
Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang
tertindas.[11]
Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang masih muda dalam Troonrede kenegaraan mengumumkan suatu penyelidikan terhadap
kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah Politik Etis telah disahkan oleh Ratu
Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan mengerucutkan prinsip Politik
Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi, pendidikan dan transmigrasi penduduk.[12]
Kesultanan Yogyakarta yang masuk dalam wilayah penjajahan Belanda akibat
perjanjian Giyanti[13],
banyak mendapat pengaruh kebudayaan Eropa, disebabkan karena interaksi kehidupan
antara masyarakat Yogyakarta dan
penguasa kolonial. Salah satunya adalah masuknya sistem pendidikan yang
sifatnya modern di Yogyakarta. Bentuk dari masuknya sistem pendidikan ini
ditandai oleh berdirinya sekolah – sekolah di Kota Yogyakarta.
Sekolah modern Barat yang pertama dibuka di Yogyakarta didirikan pertama
kali oleh anggota tentara Belanda pada tahun 1832 dengan murid yang berjumlah
sekitar 70 orang. Tetapi penyelenggaraannya kurang berhasil karena kesulitan
bahasa pengantar Belanda yang digunakan.[14]
Guru yang mengajar sekolah pertama ini bernama Van Theil, seorang pegawai
tentara Belanda. Namun, usaha pengajaran mulai mendapat perhatian dari penguasa
kolonial saat Mullemeister menjabat sebagai residen pada tahun 1832 – 1891.
Sampai tahun 1879, hanya terdapat satu sekolah Gubermen dan satu sekolah swasta di daerah Paku Alaman.[15]
Pada tahun 1890, di keraton Yogyakarta didirikan sekolah Sri Manganti. Pada
bulan Agustus, yang mendaftar sebagai murid sebanyak 100 orang. Gedung sekolah
ini meminjam sebagian ruang Bangsal Trajumas, diantara regol Sri Manganti
sendiri dan regol Donopratopo.[16]
Sekolah ini biasa disebut Sekolah Kelas Satu ( Eerste Klasse School met de Basa Kedaton ) dan awalnya
diperuntukkan bagi anak – anak bangsawan dan abdi dalem yang berpangkat tinggi namun selanjutnya terbuka bagi
anak para pegawai menengah dan rendah. Bagi anak para pegawai menengah dan
rendah disediakan Sekolah Kelas Dua ( Tweede
Klasse School ) atau sekolah
Pagelaran. Selain dua sekolah tersebut, juga terdapat sekolah – sekolah
partikelir atau sekolah swasta di daerah Kasultanan maupun Paku Alaman.
Pada abad XX, jumlah sekolah mulai meningkat drastis. Pada tahun 1909,
didirikan Eerste Inlandsche School di
Kintelan dan di berbagai tempat lainnya. Sekitar 6 tahun sesudahnya atau tahun
1915, pemerintah memperbanyak berdirinya sekolah – sekolah rendah yang bernama HIS
( Hollandsch Inlandsche School )
dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Hal ini dapat terlaksana karena
dorongan dari perkumpulan Budi Utomo. Gedung pertama HIS bertempat di Jetis.
Pada tahun yang sama, sekolah Sri Manganti berubah menjadi sekolah HIS dengan
nama Keputren School.
Selain sekolah – sekolah yang didirikan pemerintah, juga terdapat sekolah –
sekolah swasta atau partikelir seperti sekolah Kristen dan Katolik. Sekolah
Kristen di Yogyakarta terdapat di banyak tempat seperti di Klitren, Gondolayu,
Gemblakan, Bintaran, dan Tungkak. Lokasi – lokasi sekolah tersebut sangat
penting untuk mengukur mobilitas dan dinamika pendidikan di dalam maupun di luar
kota Yogyakarta. Meski agama Kristen memiliki konsep humanitas yang sangat
luas, tetapi dalam masa kolonialisme pengurus – pengurusnya tetap
mempertimbangkan adanya diferensi sosial.
Masuknya missi Katolik di Yogyakarta berawal dari missi yang dilakukan di
Jawa pada tahun 1890. Pada tahun 1892 muncul sekolah – sekolah Katolik di
daerah Mungkid dan Salam. Tahun 1923, sekolah missi telah memiliki sekolah
dengan gedung bertingkat dua dengan jumlah 18 ruang kelas. 14 kelas dipakai
untuk HIS dan sisanya untuk MULO.
Dari perkembangan sekolah – sekolah yang didirikan oleh pemerintah maupun
orang Kristen dan Katolik, ulama – ulama Islam terutama K.H Ahmad Dahlan mulai
resah dengan keadaan yang terjadi. Maka pada awal abad 20 inilah, Muhammadiyah
sebagai organisasi Islam terbesar di Yogyakarta mendirikan sekolah – sekolah
yang berbasis agama Islam. Sekolah ini muncul sebagai reaksi atas sistem
pengajaran Barat dan sebagai reaksi atas majunya sekolah – sekolah zending dan missi.[17]
Muhammadiyah memiliki sebuah Kweekschool dan HIS di Notoprajan, sekolah kelas
dua di Bausasran, Kauman, Karangkajen. Selain itu ada juga sekolah – sekolah
yang sama di Paku Alaman, Bintaran Lor ( Adhidharmo ), Ngupasan dan Suronatan.
Sepuluh tahun setelah Muhammadiyah, lahirlah organisasi pendidikan Taman
Siswa di Yogyakarta. Taman Siswa muncul sebagai reaksi dari model pengajaran
Barat. Dasar penyelenggaraan pendidikan Taman Siswa didasarkan pada kebudayaan
sendiri dan kebudayaan asing yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan
bangsa. Pada tahun 1924, Taman Siswa baru tercatat dalam data statistik
pengjaran di Yogyakarta dengan jumlah murid 38 orang dan 17 guru.
Meskipun banyak sekolah yang didirikan, hanya sekolah bentukan pemerintah
saja yang banyak diminati oleh masyarakat di Yogyakarta. Hal ini karena
kurikulum di sekolah – sekolah pemerintah dianggap lebih sesuai dalam
perkembangan zaman. Meskipun jumlah sekolah yang didirikan pemerintah berjumlah
278 buah, tetap saja jumlah tersebut tidak mencukupi untuk menampung jumlah
murid yang tidak mendapat tempat. Maka hal inilah yang dimanfaatkan anggota
Mason untuk membentuk lembaga yang bernama Neutrale
Onderwijs Stichting.[18]
Lembaga inilah yang nantinya akan mendirikan sekolah – sekolah netral ( tidak
berpijak pada agama ). Sekolah ini banyak mendapat perhatian dari masyarakat
Yogyakarta karena Bahasa Belanda dijadikan salah satu mata pelajaran dan bahasa
pengantar di sekolah ini.
C. Sekolah Netral di
Yogyakarta sampai Tahun 1946
Neutrale Onderwijs Stichting adalah
lembaga yang berkecimpung di bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh
anggota Mason dan juga salah satu kerabat Kadipaten Paku Alaman, yaitu Pangeran
Notodirdjo, ia menginginkan terselenggaranya pendidikan yang netral. Selain
mendirikan sekolah taman kanak – kanak atau sekolah Frobel, para anggota Mason juga mendirikan Neutrale Hollandsch – Indlandsch Scholen atau biasa disebut sekolah
netral, sebagai bagian dalam mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing
masyarakat menuju kemajuan sosial.[19]
Kata
“ Netral ” dalam sekolah netral disini dimaksudkan sebagai pendidikan yang
netral terhadap agama, bahwa sekolah ini tidak memberikan pelajaran agama
tertentu kepada murid – muridnya[20],
dan dalam penerimaannya diperbolehkan dari agama apapun. Tujuan pengajaran
hanya untuk memberikan ilmu pengetahuan dan tidak bermaksud apapun.
Pendirian
sekolah netral pada tahun 1912 oleh para golongan Mason ini didukung oleh
Sultan Yogyakarta yang menyediakan dana untuk pembangunan sekolah untuk laki -
laki dan dana sekolah untuk perempuan.[21]
Untuk menunjang kegiatan yang dilakukan sekolah – sekolah netral ini
didirikanlah Studiefonds Djokdja.
Menurut laporan kerja golongan Mason 1916 – 1917, orang – orang yang menjadi
pengurus sekolah netral ialah Dr. D.I de Vries Robles ( Ketua ), R.R.
Nitidipuro ( Wakil Ketua ), A.J.P Doom ( Bendahara ), A. van Ophuysen (
Sekretaris I ), R.M.P. Brotoatmodjo ( Sekretaris II ), dan para komisaris yang
terdiri dari A.B. David, Mr. F.W. Pynacker Hordijk, W.F.J. Schilham, P.A.
Soerjodiningrat, R.M.P. Gondoatmodjo dan R.T. Wiryo Dirdjo.[22]
Neutrale Onderwijs Stichting di
Kota Yogyakarta telah berhasil membangun sekolah – sekolah baik untuk anak –
anak Belanda maupun Bumiputra. Pada tahun 1927, Neutrale Onderwijs Stichting mengajukan permohonan Recht van Opstal kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk memperluas bangunan Neutrale
Europesche Lagere School dan mendirikan Neutrale MULO. Murid Neutrale ELS
terdiri atas bangsa dari Eropa dan Bumiputra, dengan jumlah 169 murid Eropa dan
8 murid Bumiputra.[23]
Pada
tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch
Javaansche School di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian
sekolah ini dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono
VII. Berdirinya sekolah ini mendapat bantuan dari Sultan sebanyak f.14.000 pada
tahun 1913 dan f.15.000 pada tahun 1915 yang digunakan untuk membeli bahan
bangunan. Selain itu, Sultan juga menjadi pelindung Neutrale Onderwijs Stichting.
Sekolah
Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks terdapat 3 sekolah yang
semuanya milik Neutrale Onderwijs
Stichting. Ketiga sekolah itu adalah Neutrale
Hollandsch Javaansche Jongensschool ( untuk murid laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche
Meisjessschool ( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool ( untuk murid campuran
). Selain itu, lembaga milik anggota Mason tersebut masih memiliki asetnya,
seperti Sekolah Netral H.C.S. der Majoor
Yap-Stichting di kampung Tugu, kemudian Sekolah Netral Kepoetran di Alun – alun Utara, Sekolah Netral Budi Utomo di
Yudonegaran dan Sekolah Netral Taman Siswa di Lempuyangan.
Sekolah
Netral pada tahun 1942 ditutup karena adanya larangan dari pemerintah Jepang
bagi sekolah – sekolah swasta. Bahasa Belanda yang biasa menjadi bahasa
pengantar dilarang untuk digunakan, dan sebagai gantinya Bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar di semua sekolah. Sedangkan Bahasa Jepang menjadi mata
pelajaran wajib diberikan. semua buku – buku yang berbahasa Belanda diganti
dengan buku – buku terjemahan dari kantor pengajaran ( Bunkyo Kyoku ).[24]
D. Sekolah Netral di
Yogyakarta (1946 – 1960)
Selama
masa Revolusi, Sekolah Netral yang terdapat di Jalan Malioboro ditutup, dan
gedung sekolahnya sempat dijadikan rumah tahanan bagi tentara Jepang yang masih
ada di Kota Yogyakarta. Tentara Jepang yang tertangkap kemudian dimsukkan ke
dalam gedung Sekolah Netral dan di sekelilingnya dijaga ketat oleh tentara
Republik Indonesia.
Setelah
tidak aktif lagi selama empat tahun, pada tahun 1946 Sekolah Netral dibuka
kembali. Pada waktu itu sekolah Neutrale
Hollandsch Javaansche berubah nama menjadi Sekolah Rakyat Netral dan tidak
terdapat lagi tingkatan – tingkatan yang sifatnya diskriminatif. hal ini tidak
terlepas dari kebijakan pemerintahan Jepang, tentang penghilangan tingkatan
pada sekolah – sekolah.[25]
Kegiatan belajar mengajar kembali dilaksanakan pada tahun itu, akan tetapi
keadaan damai hanya bertahan hingga akhir tahun 1948 karena Belanda melakukan
Agresi Militer II.[26]
Sekolah
Rakyat Netral masih bernaung pada Yayasan Sekolah Netral yang telah berdiri
sejak tahun 1912. Saat dibuka kembali pada tahun 1946, Sekolah Rakyat Netral
masih memiliki 3 sekolah ditambah sebuah taman kanak – kanak yang berada satu
tempat dengan Sekolah Rakyat Netral putri.
Mengenai
Yayasan Sekolah Netral, pada tahun 1959 berubah nama menjadi Yayasan Perguruan
Sekolah “ Netral ”. Dalam perkembangannya, Yayasan ini tidak lagi menjadi milik
Golongan Kemasonan tetapi telah menjadi milik salah satu anggota Paku Alaman
yaitu R.M. Rio Notonegoro menjelang kapitulasi 8 Maret 1942.[27]
Alasan mengenai pergantian nama, karena hal ini sebagai usaha yayasan untuk
mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Kompleks
Sekolah Netral putra selain digunakan untuk kegiatan Sekolah Rakyat Netral juga
digunakan oleh SMP Netral pada sore harinya. Sedangkan SR Netral Putri pada
sore hari digunakan oleh Sekolah Guru Pendidikan Agama ( SGPA ).
E. Kepindahan Sekolah
Netral dari Jalan Malioboro
Sejak
awal pendiriannya, Sekolah Netral di Yogyakarta berada di Jalan Malioboro, dan
saat dibuka kembali pada tahun 1948 lokasinya masih berada di jalan ini.
Kepindahan Sekolah Netral dari Jalan Malioboro ke Jalan Dagen dan Jalan
Sosrowijayan tidak terlepas dari kasus Yayasan Kredit Tani Indonesia (YKTI)
yang melibatkan partai – partai di Yogyakarta.[28]
Kasus ini mengakibatkan hutang yang sangat besar bagi Sri Sultan Hamenku Buwono
IX. Sebagai pertanggungjawabannya, Sultan terpaksa menjual tanah milik keraton
di jalan Malioboro untuk melunasi hutang tersebut. sedangkan tanah itu disewa
oleh Sekolah Rakyat Netral.
Karena
tanah yang ada di Malioboro telah dijual, Yayasan Sekolah Netral tidak lagi
mempunyai hak untuk menempati tanah itu. Sebagai gantinya, Sultan menawarkan
tanah keraton yang masih kosong di Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan. Tanah
milik keraton yang ada di Jalan Dagen, belum ada bangunannya, perlu membangun
gedung dahulu. Sedangkan di Jalan Sosrowijayan sudah ada bangunan namun masih
perlu direnovasi. Sekolah Netral masih mendapat izin sampai pembangunan
selesai.
Setelah
bangunan di Jalan Dagen selesai pada tahun 1959, sekolah netral putra dan
sekolah netral campuran ( putra dan putri ) pindah ke Jalan Dagen. Sedangkan
sekolah netral putri dan sekolah Frobel
( taman kanak – kanak ) masih di Jalan Malioboro, karena bangunan di
Sosrowijayan belum selesai direnovasi. Setelah gedung yang ada di Jalan
Sosrowijayan selesai direnovasi, sekolah netral putri dan sekolah Frobel ( taman kanak – kanak ) pindah ke
Sosrowijayan. Sedangkan lahan bekas sekolah netral di Malioboro kemudian
dibangun sebuah hotel yang megah dan masih berdiri sampai saat ini, yaitu Hotel
Mutiara.
Istilah
Kemasonan Bebas digunakan untuk mengindonesiakan kata Freemasonry dalam bahasa Inggris dan kata Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda. Kemasonan memiliki arti secara
harfiah, yaitu perkumpulan para tukang bangunan atau gilda di Inggris. Gerakan Mason kemudian diperkenalkan oleh bangsa
Barat sebagai aliran pembebasan pikiran yang menerima sesama manusia dan
ditempatkan pada posisi yang sederajat tanpa ada bentuk diskriminasi dan
menjadi pandangan hidup yang timbul dari dorongan batin yang mengungkapkan
tentang dirinya dalam upaya mengangkat umat manusia ke tingkat susila dan moral
yang lebih tinggi lagi.
Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1762. Kemunculan
Paham ini ditandai dengan berdirinya loge – loge di kota-kota dagang yang besar
di pesisir seperti Semarang Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan
di kota kota tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat. Pada
pertengahan abad 19, paham ini
berkembang pesat dan akhirnya mulai merambah ke jantung – jantung pedalaman
pulau Jawa yang dikuasai raja – raja lokal pecahan dari kerajaan Mataram Raya.
Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri Para Sultan )
ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta pada tahun 1870. Di
Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak di bidang sosial, terutama dalam hal
pendidikan. Pendidikan telah menjadi topik utama yang menjadi Golongan
Kemasonan, selain menjadi kebijakan seluruh loji di Hindia Belanda. Sehingga
pada tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral dan ”sekolah – sekolah
Frobel Yogya”.
Neutrale Onderwijs Stichting adalah lembaga yang
berkecimpung di bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh anggota Mason. Selain mendirikan
sekolah taman kanak – kanak atau sekolah Frobel,
para anggota Mason juga mendirikan Neutrale
Hollandsch – Indlandsch Scholen atau biasa disebut sekolah netral, sebagai
bagian dalam mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing masyarakat menuju kemajuan
sosial.
Pada
tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch
Javaansche School di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian
sekolah ini dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono
VII. Sekolah Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks terdapat 3
sekolah yang semuanya milik Neutrale
Onderwijs Stichting. Ketiga sekolah itu adalah Neutrale Hollandsch Javaansche Jongensschool ( untuk murid
laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche
Meisjessschool ( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool ( untuk murid campuran
).
Setelah
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, semua sekolah buatan Belanda
ditutup. Hal ini terus berlangsung hingga masa revolusi. baru pada tahun
1950-an sekolah ini dibuka kembali dan ganti nama sekolah menjadi Sekolah
Rakyat Netral. Kasus Yayasan Kredit Tani Indonesia ( YKTI ) yang membuat Sri
Sultan berhutang banyak, membuat beliau menjual tanahnya di Jalan Malioboro dan
tanah itulah yang ditemapati Sekolah Netral. Sebagai gantinya, Sultan
menawarkan tanahnya yang ada di Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan. akhirnya
sekolah ini pindah ke tempat dua jalan tadi sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial 1880-1930, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas – batas Pembaratan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangannya, Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009.
Gilbert J. Garraghan. A Guide to Historical Method, New York, Fordham University Press, 1957.
Harun Yahya, Ksatria – ksatria Templar: Cikal Bakal Gerakan Freemasonry, Surabaya: Risalah Gusti, 2005.
Kota Jogjakarta 200 tahun, 7 Oktober 1756 – Oktober 1956. Yogyakarta: Panitia Peringatan, 1956.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Bentang Pustaka, 2005.
Lynn Picknett dan Clive Prince, The Templar Revelation: Para Pelindung Identitas Sejati Kristus, Jakarta: Serambi, 2006.
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2008.
Rizki Ridyasmara, Knight Templar, Knight of Christ: Konspirasi Berbahaya Biawaran Sion Menjelang Armageddon, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Sri Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed. ), Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.
Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Sumber skripsi:
Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.
Wieen Febrianto, Golongan Kemasonan di Vorstenlanden 1870-1942, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2006.
[1] Th.
Stevens, Tarekat Mason Bebas dan
Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2004 ), : 24.
[2] Pada
tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi Paku Alam V. Kedudukannya sebagai
kepala dari keluarga raja yang memerintah salah satu Vorstenland dianggap
penting bagi loge “Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.
[3]
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern:
1200 - 2008, ( Jakarta: Serambi, 2008 ), : 327.
[4] Th. Stevens, op.cit., : 293-298.
[6] Pada
tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi Paku Alam V. Kedudukannya sebagai
kepala dari keluarga raja yang memerintah salah satu Vorstenland dianggap
penting bagi loge “Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.
[7] Abdurrachman
Surjomihardjo, loc.cit., : 49.
[10] Isti
Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di
Yogyakarta 1916-1960, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada, 2004.
[11]
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008,
( Jakarta: Serambi, 2008 ), : 327.
[12] Th.
Stevens, Tarekat Mason Bebas dan
Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2004 ), : 191-192.
[13] Perang
Saudara di Kerajaan Mataram atau yang terkenal dengan Perang Suksesi Jawa
Ketiga ( 1746 – 1755 ) berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tanggal 134
Februari 1755. Perjanjian membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian itu, Pangeran Mangkubumi
diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I, raja Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Sunan Paku Buwono III sebagai raja Kasunanan Surakarta
Hadiningrat.
[14] Isti
Rahayu, loc.cit.
[15] Abdurrachman
Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo
Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 ), : 67.
[16] Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangannya, ( Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009 ), :
461.
[19] Wieen
Febrianto, Golongan Kemasonan di
Vorstenlanden 1870-1942, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada, 2006.
[20] Isti
Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di
Yogyakarta 1916-1960, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada, 2004.
[21] Th.
Stevens, Tarekat Mason Bebas dan
Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2004 ), : 259.
[22]
Abdurrachman Surjomihardjo, Kota
Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008 ), : 79.
[23] Isti
Rahayu, op.cit.
[24] Sri
Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed.
), Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa
Yogyakarta, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981 ), : 114.
[25] Pada
zaman kolonial Belanda terdapat tingkatan – tingkatan pendidikan sekolah dasar
dimana antara satu sekolah dengan sekolah lain terdapat perbedaan. Sekolah
untuk anak – anak bangsawan berbeda dengan sekolah untuk anak – anak dari
kalangan rakyat biasa.
[26] Isti
Rahayu, loc.cit.
[27] Wieen
Febrianto, lo.cit.
[28] Isti
Rahayu, loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar