Pada
tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, diselenggarakan Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag. Indonesia mengirim delegasinya yang diketuai oleh
Mohammad Hatta. Dalam Konferensi itu disepakati beberapa agreement, salah satunya adalah pembentukan Negara Indonesia
sebagai suatu serikat. Dalam konferensi tersebut juga disepakati bahwa Soekarno
diangkat menjadi presiden RIS dan Mohammad Hatta menjadi wakil presiden
sekaligus merangkap sebagai Perdana Menteri RIS.[1]
Bagi negara
yang sepenuhnya baru lepas dari bayang-bayang kolonialisme, dibutuhkan suatu
gagasan yang baru dari para perumus kebijakan untuk membangun perekonomian
Indonesia. Di lain pihak, para pembuat kebijakan ekonomi juga dihadapkan pada
tugas yang berat, dimana masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul saling
mempengaruhi. Seperti kebutuhan akan perbaikan sistem dan fasilitas ekonomi
yang rusak akibat dari kolonialisme Jepang dan Revolusi Fisik, dengan
permintaan yang kuat untuk mengubah ekonomi ala kolonial menjadi ekonomi
nasional. Selain itu juga terdapat masalah sistem nilai tukar ganda yang
menyebabkan inflasi berkepanjangan[2]
dan permasalahan akan pengembangan kewirausahaan pribumi Indonesia yang kuat.
Kemerdekaan
Indonesia tidak akan utuh jika tidak didukung dalam bidang perekonomian. Oleh
karena itu perubahan sistem ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional menjadi
agenda utama dari pemerintah Indonesia. Hingga tahun 1950, Indonesia masih
merasakan dominasi kuat ekonomi kolonial yang kapitalis[3], masyarakat
Indonesia hanya menjadi bagian terkecil (bahkan terkesan pasif) dalam sistem
ekonomi kolonial tersebut.
Berdasarkan
perjanjian di bidang ekonomi yang dituangkan dalam bentuk Finec ( Financial-Economic Agreement ) dalam
sidang KMB di Den Haag, pemerintah Belanda mendapat jaminan dan konsesi akan
kepentingan ekonominya di Indonesia.[4]
Sebagian besar sektor ekonomi Belanda memiliki 25 persen total dari GDP
Indonesia dan 10 persen total dari lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia.[5] Sebagai
langkah awal untuk mendukung terbentuknya perekonomian Nasional, para perumus
kebijaksanaan Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengambil alih
sektor-sektor strategis di bawah kontrol langsung pemerintah. Diantaranya
adalah nasionalisasi De Javasche Bank[6], melikuidasi
perusahaan penerbangan Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij, KNILM)[7],
mengambil alih sektor-sektor penting seperti jalur-jalur kereta api di Jawa dan
fasilitas umum seperti perusahaan gas dan listrik. Meskipun sebagian perusahaan
utama milik Belanda telah dinasionalisasi, akan tetapi yang lainnya masih beroperasi
hingga tahun 1957.[8]
Sebagai
negara yang telah lama menjadi suatu sistem perdagangan dunia, masa
kolonialisme Jepang hingga Revolusi Fisik merupakan fase hilangnya kesempatan
untuk mengembangkan dan memperkuat kelas menengah di negeri ini. Indonesia
membutuhkan kelas pengusaha untuk memulai roda perekonomian. Untuk memunculkan
kembali bibit-bibit entrepreneur
tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang pada
akhirnya diarahkan untuk memperkuat kelas menengah Indonesia.[9]
Pada
tahun 1950, atas prakarsa dari Menteri Kesejahteraan Djuanda dan Sumitro
Djojohadikusumo mulailah diperkenalkan “Program Benteng”.[10]
Target dari program ini jelas, untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi
Indonesia, melindungi para importir nasional agar dapat bersaing dengan
importir asing, dan nantinya diharapkan dapat menggantikan posisi dominan
perusahaan dagang Belanda “The Big Five”,
yang terdiri dari Borsumij, Jacobson van den Berg, George Wehry, Internatio dan Lindeteves
serta perusahaan Inggris seperti MacLaine
Watson.[11]
Program Benteng sendiri lebih difokuskan pada
bidang perdagangan impor. Pertama, hal ini dikarenakan jumlah modal dan
sumber-sumber daya perusahaan yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan bidang
lain, seperti perusahaan manufaktur. Kedua, banyak perusahaan-perusahaan
Belanda yang masih beroperasi memanfaatkan sektor impor ini. Ketiga, arti
penting impor bagi perekonomian Indonesia, karena sudah sejak masa kolonial,
perusahaan manufaktur bergantung pada sektor impor. Dan Keempat, pemerintah
memiliki kekuasaan yang lebih besar atas kegiatan impor dibanding pihak
manapun.[12]
Oleh karena itu, pemerintah berharap lewat perdagangan impor inilah
pengusaha-pengusaha lokal atau pribumi dapat memutar kembali modalnya dan dapat
digunakan untuk mengembangkan sektor-sektor usaha yang lebih besar.[13]
Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk kredit lunak kepada para pengusaha
dan juga lisensi-lisensi impor dengan beberapa syarat. Akan tetapi, karena
sebagian besar aktivitas ekonomi Indonesia pada masa kolonial masih pada taraf
industri rumahan, pemerintah Indonesia juga mengambil tindakan untuk mendorong
dan mengembangkan usaha koperasi. Pertumbuhan koperasi merata di seluruh
Nusantara, dari mulai tingkat propinsi hingga ke tingkat desa (KUD).[14]
Sistem koperasi ini dianggap pemerintah sebagai usaha paling efisien, selain
membeli barang dari hasil karya anggota-anggotanya, Koperasi Unit desa juga membantu
pemerintah memberikan pinjaman berupa kredit lunak untuk merangsang
industri-industri berskala kecil di daerah.
Dikeluarkannya
kebijakan Benteng selain untuk menghentikan dominasi ekonomi Belanda, pada
akhirnya juga merambah pada pembatasan dominasi pengusaha Tionghoa di
Indonesia. Bahkan jauh sebelum dikeluarkannya kebijakan Benteng, pada tanggal
27 Oktober 1949 telah diadakan pertemuan pejabat sipil Indonesia bidang
perdagangan yang membahas tentang peniadaan modal Cina sebesar mungkin, tanpa
melihat mereka sebagai warga negara Indonesia atau asing.[15]
Dilihat dari sejarahnya, pengusaha Tionghoa memang mendapatkan prioritas utama
dalam ekonomi kolonial.[16]
Mereka menguasai hampir semua sektor ekonomi modern, seperti perkebunan,
pertambangan, perusahaan manufaktur skala besar, sistem perbankan, fasilitas
publik, dan perdagangan antara di kota maupun pedesaan.[17]
Diskriminasi terhadap pengusaha Tionghoa dalam program Benteng ini membuat
Siauw Giok Tjhan yang menjadi anggota parlemen sekaligus perwakilan etnis
Tionghoa memprotes kepada DPR, menurutnya program Benteng ini terlalu rasialis
dan mendiskriminasi peran orang Tionghoa dalam ekonomi nasional.[18]
Dalam
prakteknya pemerintah tidak dapat melepaskan pengaruh kuat dominasi pengusaha
Tionghoa, karena mereka menguasai perdagangan ekspor-impor. Selain itu mereka
juga memiliki jaringan yang kuat dan efektif, jaringan ini sudah sangat lama
terbentuk dan memiliki hubungan dengan jaringan internasional.[19]
Meskipun pribumi pada masa ini diuntungkan dan mendapat prioritas dari
perdagangan impor tetapi hanya beberapa pengusaha pribumi saja yang dapat
mengembangkan perusahaannya. Hal ini disebabkan Indonesia yang didiami berbagai
etnik, membuat jaringan pribuminya hanya terbatas pada lokasi tertentu dan tidak
dapat terhubung satu dengan yang yang lainnya.
Selain
itu, Kebijakan Benteng juga
melahirkan para importir-importir gadungan. Para pengusaha pribumi (si Ali)
yang tidak memiliki modal dan tempat usaha, dengan membawa “aktentas” keluar
masuk kantor Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk
mendapatkan lisensi impor. Setelah mereka mendapatkan lisensi tersebut, mereka
mendatangi pengusaha Tionghoa (si Baba) untuk menjual lisensi tersebut.[20]
Kerjasama inilah yang kemudian terkenal dengan istilah sistem Ali-Baba.
Keinginan pemerintah untuk menyingkirkan peran orang Tionghoa lewat program
Benteng bukan hanya merupakan tugas yang sulit, tetapi juga sangat tidak
efektif. Hal ini dikarenakan ativitas ekonomi Tionghoa yang sudah berlangsung
lama, secara tidak langsung telah terjalin hubungan yang lebih dekat dengan
pribumi Indonesia.
[1]
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern:
1200 – 2008. (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 487.
[2]
J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam Pembentukan Ekonomi
Nasional: Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Th. Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia.
(Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002), hlm. 401.
[3] Taufik
Abdullah, “Indonesianisasi: Sebuah Wacana dan Serentetan Peristiwa”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya
UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 5.
[4] M.C. RIcklef, op.cit., hlm. 497.
[5] Thee
Kian Wie, “Kebijaksanaan Ekonomi di Indonesia selama Periode 1950-1965,
Khususnya dalam Investasi Modal Asing”, dalam J. Th. Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta:
Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002), hlm. 377.
[6] De Javasche Bank berganti nama menjadi Bank
Indonesia dan menjadikannya sebagai Bank Sirkulasi Indonesia. Lihat J. Th.
Linblad, “From Java Bank to Bank Indonesia: A Case Study of Indonesianisasi in Practice”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya
UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 21.
[7] Koninklijk Nederlands-Indische
Luchtvaart Maatschappij (KNILM)
berganti nama menjadi Maskapai Penerbangan Garuda (GIA) dan menjadi perusahaan
penerbangan domestik.
[8]
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia
Tenggara. (Jakarta: LP3ES, 1990),
hlm. 25.
[9] W.
F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam
Transisi: Studi Perubahan Kelas. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 96.
[10] Benny
G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran
Politik. (Jakarta: ELKASA, tt), hlm. 677.
[11] Widigdo
Sukarman, “Upaya Membentuk Perbankan Nasional: Peran Bank BNI pada Tahun
1950an”, Lembaran Sejarah, Fakultas
Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 55.
[12]
Lukman, “Perekonomian Indonesia 1950-1966 (Suatu Tinjauan Aspek Moneter)”.
Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2001, hlm. 24.
[13]
Thee Kian Wie, op.cit., hlm. 377.
[14]
Eddiwan, “Beberapa Catatan Mengenai Perkoperasian di Indonesia”, dalam Sri-Edi
Swasono (ed.), Koperasi di Dalam Orde
Ekonomi: Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas. (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1987), hlm. 128.
[15]
Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di
Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. (Yogyakarta: Penerbit
Niagara, 2005), hlm. 373.
[16]
Thee Kian Wie, “Indonesia’s First Affirmative Policy: The “Benteng” program in
The 1950’s”, Lembaran Sejarah,
Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 36.
[17]
Yoshihara Kunio, op.cit., hlm. 55-60.
[18] J.
Th. Linblad, “Beyond Benteng:
Indonesian Entrepreneurship in Central Java in the 1950s”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 7 Nomor 1, 2004,
hlm. 87.
[19] op.cit., hlm. 76.
[20]
Benny G. Setiono, op.cit., hlm. 676.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar