Van den Bosch dan Idenya
Periode
pemerintahan Van der Capellen di Hindia Timur sangat tidak memuaskan Pemerintah
di Belanda. Produksi tanaman ekspor mengalami penyusutan yang berarti,
kebijakan kepemilikan tanah yang gagal dan kebijakan reaksioner Van der
Capellen yang berakibat sangat buruk. Selain itu permasalahan ditambah lagi
akibat Pemerintah Hindia Belanda yang sibuk mengurusi urusan dalam negeri Vorstenlanden
yang akhirnya menyeret Pemerintah Hindia Belanda jatuh kedalam perang Jawa yang
dikobarkan oleh Dipanegara, seorang pangeran dari Yogyakarta. Hal ini membuat
kas di Hindia Belanda kosong melompong dan disatu sisi tidak ada pemasukan sama
sekali. Pengeluarannya sendiri mencapai 24 juta gulden setahun, melebihi
pengeluaran di Negeri Belanda.
Negeri Belanda
pun juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu perekonomian koloninya ini, kas
Negeri Belanda pun juga kosong sedangkan utang semakin membengkak sebab mereka
juga sedang menghadapi pemberontakan yang dilakukan bangsa Belgia yang
menginginkan kemerdekaan. Perang di wilayah ini pun berlangsung selama 9 tahun.
Van den Bosch
bukanlah orang yang baru dalam mengenal Hindia Belanda. Dirinya pernah datang
kesini pada masa Daendles dan diusir oleh Jenderal Guntur itu karena perbedaan
paham. Kemudian ia dikirim ke Hindia Barat oleh raja Belanda (pasca perang
Belanda-Belgia) untuk menjalankan misi khusus. Sepulangnya dari sana, dirinya
mendapatkan perintah untuk mengorganisasi struktur ekonomi di Hindia Timur atau
Hindia Belanda.
Van den Bosch tidak pernah percaya pada pandangan Hogendorp bahwa petani
Jawa terlalu malas untuk mengejar keuntungannya sendiri. Dirinya yakin bahwa
orang pribumi hanya butuh bantuan untuk memberikan pengetahuan dalam mencapai
keuntungan dalam kemajuan ekonomi. Mereka harus dibimbing oleh penguasa untuk
bekerja, apabila tidak mau mereka harus dipaksa untuk bekerja. Oleh karena itu
pemerintah berkewajiban ”mengorganisasikan pertanian Jawa untuk mengangkatnya
lebih unggul. Inilah pemikiran awal Van den Bosch tentang cultuurstelsel.
Ketika Van den Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830, pemikiran Van den
Bosch tentang cultuurstelsel sebenarnya tidak
pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi tampaknya sistem ini didasarkan pada
suatu prinsip umum yang sangat sederhana. Menurutnya, desa-desa di Jawa
berutang pajak tanah pada pemerintah sebesar 40% dari hasil panen utama
desa-desa itu. Rencana Van den Bosch ialah bahwa desa-desa harus menyisihkan
seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor (nila, tembakau, kopi dan
tebu). Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai harga
yang sudah ditentukan. Dengan seperti ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak
dalam bentuk uang, tapi cukup dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun
apabila pajaknya telah tercukupi, maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan
apabila tidak terjadi surplus dan pajak tanah belum mencukupi, maka
kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja di ladang.
Dalam teorinya juga, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem
ini. Lebih dari 100.000 orang bekerja untuk pemerintah. Dengan cara demikian
orang Jawa dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dari sebelumnya dengan
jumlah pekerjaan yang sama atau berpenghasilan sama dengan kerja lebih sedikit.
Desa akan tetap memiliki tanah yang lebih luas dalam pengerjaannya, dan
mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai. Disisi lain pemerintah mendapatkan
tanaman ekspor yang murah harganya.
Sistem
Tanam Paksa: Sebuah Teori
Ketika Van den
Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830, pemikiran Van den Bosch tentang
cultuurstelsel sebenarnya tidak pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi
tampaknya sistem ini didasarkan pada suatu prinsip umum yang sangat sederhana.
Menurutnya, desa-desa di Jawa berutang pajak tanah pada pemerintah sebesar 40%
dari hasil panen utama desa-desa itu. Rencana Van den Bosch ialah bahwa
desa-desa harus menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor
(nila, tembakau, kopi dan tebu) dan seperlima dari waktu kerja para petani
dewasa. Pada
intinya, sistem baru yang diperkenalkan ini secara parsial menggantikan sistem
pajak tanah yang dikenalkan Raffles, meskipun pada prakteknya dua sistem ini
selalu digabungkan. Sang
Gubernur Jenderal mengklaim bahwa alih- mengambil duaperlima hasil panen dalam
bentuk uang. Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai
harga yang sudah ditentukan.
Dengan seperti
ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak tanah dalam bentuk uang, tapi cukup
dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun apabila pajaknya telah tercukupi,
maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan apabila tidak terjadi surplus dan
pajak tanah belum mencukupi, maka kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja
di ladang atau menggunakan sumber pendapatan lainnya. Akan tetapi pemerintah
dapat meminta tenaga kerja dari penduduk desa untuk menjadi pekerja pabrik
dimana hasil panennya diolah.
Van den Bosch merasa bahwa dengan sistem seperti ini, setiap pihak akan
mendapatkan keuntungan. Desa akan memiliki tanah yang lebih luas untuk
digunakan sendiri, selain itu desa akan mendapatkan penghasilan yang sifatnya
tetap dalam bentuk uang tunai. Selain itu dirinya mengklaim dapat mempekerjakan
lebih dari 100.000 orang sehingga orang Jawa mendapatkan gaji yang lebih besar
daripada sebelumnya dengan jumlah pekerjaan yang sama atau mendapatkan gaji
yang sama tetapi dengan jumlah pekerjaan yang lebih sedikit. Di lain pihak,
pemerintah juga diuntungkan dengan harga panen tanaman ekspor yang sangat murah
dan meningkatkan pendapatan armada pengangkutan jalur laut Negeri Belanda NHM.
Semua kesepakatan mengenai sawah ladang, tenaga kerja, dan pengiriman dibuat
berdasarkan kontrak bebas antara pejabat pemerintah dan kepala desa. Van den
Bosch juga mengklaim bahwa dalam waktu kurang dari 4 tahun wilayah koloni
Hindia Belanda akan tentram, menutup dan mengisi kekosongan kas negara dan
wilayah koloni, meningkatkan produksi tanaman ekspor dan memaksimalkan
pendayagunaan tanah dan meningkatkan perdagangan.
Pelaksanaan, Penyelewengan dan Dampak Sistem Tanam Paksa
Cultuurstelsel
mulai direalisasikan, pemerintah memerintahkan semua pejabatnya (orang Eropa
dan bangsawan pribumi) untuk mempromosikan kebijakan pemerintah dalam bidang
pertanian tersebut, tapi tanpa menuntut suatu yang berlebihan. Meskipun sistem
ini didasarkan pada suatu pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan
(sukarela). Akan tetapi dalam prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan
akhirnya terjadi penyelewengan dimana-mana, seolah Jawa merupakan perkebunan besar milik pemerintah dan patut
dieksploitasi. Teori Van den Bosch tentang keuntungan semua pihak berubah
menjadi suatu peristiwa pemerasan berskala besar.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, sistem
administrasi di Jawa memasukkan orang Eropa pada struktur pemerintahan desa,
hal ini disebabkan kebijakan baru dari Negeri Belanda. Mereka ini lazim
disebut opziener atau ”pengontrol” pada masa Sistem Tanam
Paksa berlangsung. Mereka bekerjasama dengan para bupati dalam mengerahkan
tenaga kerja lokal. Selain itu tugas mereka mengurusi pertanian pemerintah dan
juga mengawasi administrasi para bupati dan bawahan-bawahannya. Para pengontrol
ini berhak menghadiri pertemuan bulanan yang dilakukan bupati sampai kepala
desa. Hal ini memperlihatkan betapa jauhnya peran pemerintah kolonial dalam
struktur tradisional pedesaan, terlihat dari kehadiran para pejabat kolonial
dan menunjukkan kepada rakyat Jawa biasa bahwa kehidupan sehari-hari mereka
digerakkan oleh pemerintah kolonial di Batavia. Sedangkan para bupati
diperkuat kedudukannya untuk mengembalikan peran para bupati dan bawahannya
agar dihargai oleh para penduduknya.
Dalam hal perekonomian pertanian, terjadi banyak penyelewengan dalam
pembagian tanah untuk penanaman tanaman ekspor. Di beberapa desa, pengambilan
tanah bisa mencapai sepertiga dari luas tanah yang seharusnya hanya seperlima
saja. Bahkan di sebuah desa pengambilan tanah bisa mencapai separuh tanah
garapan dengan alasan untuk irigasi. Hal ini membuat banyak petani yang
kehilangan lahan garapannya. Mereka tidak lagi menanam tanaman pangan tetapi
hanya tanaman ekspor. Dengan fenomena seperti ini maka banyak terjadi
intensifikasi pertanian tetapi tidak didukung oleh tekhnologi yang modern.
Pemerintah seolah-olah atau bahkan tidak sama sekali memikirkan kesejahteraan
petani yang ada di pedesaan. Ketika masa panen tebu selesai, tanah tidak
dibersihkan oleh penggarap sehingga petani harus menanam membersihkan dahulu
sebelum ditanami padi. Hal ini membuat masa penanaman padi lebih pendek dan
varietasnya menurun drastis. Sehingga berdampak pada kelaparan di beberapa
daerah, seperti Demak, beberapa wilayah di Cirebon, dan Grobogan.
Tanaman berskala ekspor banyak ditanam di wilayah Pulau Jawa, sedangkan
dalam penanamannya pun dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan membutuhkan
perawatan yang ekstra, sehingga dalam pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja
yang besar. Para kepala desa berperan disini untuk mencari pekerja yang murah.
Petani-petani seolah dipaksa menanam tanaman ekspor ini dengan alih-alih
”membantu” perekonomian desa. Para kepala desa memberikan uang muka kepada
petani agar mereka mau bekerja untuk pemerintah. Akan tetapi dalam
kenyataannya, pembayaran sering terlambat akibat uang hanya berhenti pada
tingkat hierarki tradisional. Petani tak lagi mendapat pendapatan yang tetap
dan sedikit sekali. Hal ini membuat banyak petani-petani pergi keluar desanya
untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak seperti bekerja di
pabrik-pabrik.
Suatu fenomena yang mencengangkan pada masa ini adalah meningkatnya jumlah
penduduk di Pulau Jawa pada paroh abad ke XIX. Populasi meningkat dari 6 juta
menjadi 9,5 juta penduduk. Hal ini terjadi karena pendapatan penduduk yang
sangat terbatas. Sehingga untuk membuat dapur rumah tetap mengepul, maka para
petani ”memproduksi” anak agar nantinya dapat membantu perekonomian keluarga.
Selain itu menurut Geertz, pembengkakan penduduk ini disebabkan oleh pendeknya
siklus kesuburan ibu-ibu petani dan disisi lain mereka juga keluar dari
tugasnya dirumah untuk membantu suami mendapatkan upah di sawah.
Van den Bosch merasa bahwa dengan Sistem Tanam Paksa, setiap pihak akan
mendapatkan keuntungan yang sama. Meskipun sistem ini didasarkan pada suatu
pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan (sukarela). Akan tetapi dalam
prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan akhirnya terjadi penyelewengan
dimana-mana.
Dalam hal perekonomian pertanian,
terjadi banyak penyelewengan dalam pembagian tanah untuk penanaman tanaman
ekspor. Mereka tidak lagi menanam tanaman pangan tetapi hanya tanaman ekspor.
Dengan fenomena seperti ini maka banyak terjadi intensifikasi pertanian tetapi
tidak didukung oleh tekhnologi yang modern. Tanah garapan untuk penanaman
tanaman pokok semakin sedikit, dan waktu pengerjaannya terbatas sehingga pada
tahun 1840 terjadi bencana kelaparan di daerah Demak, Grobogan dan beberapa
wilayah Cirebon.
Tanaman berskala ekspor banyak ditanam
di wilayah Pulau Jawa, sedangkan dalam penanamannya pun dibutuhkan waktu yang
tidak sedikit dan membutuhkan perawatan yang ekstra, sehingga dalam
pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja yang besar. Akan tetapi dalam
kenyataannya, pembayaran sering terlambat akibat uang hanya berhenti pada
tingkat hierarki tradisional. Petani tak lagi mendapat pendapatan yang tetap
dan sedikit sekali. Hal ini membuat banyak petani-petani pergi keluar desanya
untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak seperti bekerja di pabrik-pabrik.
Suatu fenomena yang mencengangkan pada
masa ini adalah meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa pada paroh abad ke
XIX. Hal ini terjadi karena pendapatan penduduk yang sangat terbatas. Sehingga
untuk membuat dapur rumah tetap mengepul, maka para petani ”memproduksi” anak
agar nantinya dapat membantu perekonomian keluarga.
Pada kenyataannya sistem yang digunakan
ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi perekonomian desa. Bahkan
merusak tatanan struktur mulai dari administrasi, ekonomi dan sebagainya.
Banyak orang yang berpindah dari desa ke kota dengan harapan penghidupan yang
layak tetapi nantinya hanya akan membuat kantong-kantong kemiskinan baru di
perkotaan. Selain itu juga terjadi wabah kelaparan di beberapa wilayah di Jawa
akibat minimnya penanaman tanaman pokok dan sebagainya. Akan tetapi disatu sisi
kita melihat bagaimana uang dapat menjadi alat tukar di pedesaan. Selain itu
penduduk pribumi juga bisa mengenali jenis-jenis tanaman ekspor.
Lampiran:
Denys Lombard, Nusa Jawa:
Silang Budaya, Bagian 1: Batas – batas Pembaratan, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2000)
W.
F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan
Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi
Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009)
Kuntowijoyo, Metodologi
Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar