Moda transportasi di Semarang pada masa
penjajahan Belanda telah tergolong maju. Pada tahun 1930an, Semarang telah
memiliki trem sebagai sarana transportasi dalam kota, sedangkan di kota-kota
lain di Hindia Belanda belum memilikinya. Trem melewati rute Jomblang-Bulu
dengan stasiunnya (Stasiun Sentral) di daerah Jurnatan (sekitar pasar Johar
sekarang).
Rute trem Bodjong Express ini dimulai dari
Stasiun Sentral menuju Jomblang, tarifnya sekitar 2 sen. Setelah itu, trem
kembali lagi ke Stasiun Sentral lalu melewati Alun-alun Semarang (sekitar pasar
Johar) dan sepanjang Jalan Bodjong (Jalan Pemuda sekarang). Trem juga melewati
depan gedung Netherlandsch Indische Spoorweg Maschaappij (Gedung Lawang Sewu
sekarang) menuju ke Bulu sebagai tujuan akhir.
Bagi masyarakat luas, trem menjadi moda
angkutan kota yang mengasyikkan, karena bisa digunakan untuk piknik keliling
kota Semarang. Saat lebaran tiba, banyak anak kecil berebut naik trem seharian
penuh, karena waktu itu, naik trem menjadi semacam "tradisi" layaknya
membunyikan mercon. Sambil berkelilig naik trem, sesekali mereka melemparkan
petasan di jalanan. Jika ada petasan yang mengenai orang di jalan, saat itu
juga anak-anak kecil ini tertawa kegirangan. Sudah barang tentu, orang yang
terkena lemparan petasan itu hanya bisa memaki-maki.
Namun sekarang, rel di sepanjang jalur
Jomblang-Bulu sudah tidak kelihatan lagi. Banyak rel yang hilang entah kemana
atau bahkan tertutup jalan aspal. Hal ini dampak dari perintah Soekarno yang
menyerukan tentang penghapusanatau menghilangkan warisan-warisan Belanda yang
berunsur kolonialisme dan imperialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar