Selalu ada cerita menarik dari sebuah buku, seperti salah satu buku yang aku baca malam ini, "Semarang Sepanjang Jalan Kenangan". Buku ini membahas banyak seluk beluk menarik dari kota Semarang, dan satu yang menarik itu adalah "Kencreng". Kencreng? Apa itu? Sepertinya tidak ada di kotaku?! Ya tentu saja, penyebutan terminologi ini cuma dikenal oleh orang Semarang "cekek" pada masanya. Kok masanya? Ya, karena jaman sekarang orang Semarang sendiri sudah lupa apalagi "imigran". Maklum, kata ini sudah nyaris lenyap bahkan hilang dari khasanah pembicaraan di masyarakat sehari-hari. Mungkin orang Semarang lebih mengenalnya dengan sebutan "Tukang Pijet". Ingin lebih banyak tahu? Ayo menyimak dongenganku!
Buku Semarang Sepanjang Jalan Kenangan
Kalau malem-malem sampeyan mungkin selo dan lewat di trotoar jalan Pemuda ke arah Johar atau seberang Hotel Dibyapuri yang di jaman "normal" dulu namanya Hotel du Pavillion. Nah tepat di depan emperan toko di sepanjang jalan itu, banyak lesehan yang menawarkan jasa pijat pada para konsumen yang mampir hanya untuk sekedar merasakan relaksasi sambil pesan Wedang Rondhe. Profesi ini banyak digeluti oleh laki-laki dan perempuan. Ternyata eh ternyata, di jaman baheula dulu yang mungkin pada waktu itu masih banyak dokar lewat di tengah jalan sambil membuang maaf -- tai seenaknya, keberadaan mereka sudah ada lho!
Ya Kencreng itu namanya! Jaman jebat dulu, para Kencreng yang terdiri dari perempuan setengah baya itu selalu mangkal di depan Hotel Dibyapuri atau losmen di sekitar Jalan Imam Bonjol, Pekojan dan Kauman. Gaya mereka gimana? Jangan dibayangin mereka kayak gembel yang rambutnya awut-awutan dan compang-camping bajunya! Mereka rupanya fashionable juga lho! Setiap mangkal mereka selalu memakai kain jarik dan kebaya yang ketat, sanggul di kepalanya besar-besar dan rada-rada menor gayanya berdandan.
Entah sejak kapan Kencreng dikenal orang, tapi yang jelas menurut penuturan embah-embah di Semarang, mereka disebut Kencreng karena dulunya sering membunyikan suara "creng-creng. . . .!" dari beberapa logam tipis atau duit receh ditangan yang selalu dipukul-pukulkan satu sama lain dengan kaleng, terutama oleh para Kencreng lelaki. Bunyi "creng. . . . creng. . . . itulah menjadi pertanda keberadaan mereka atau sebagai cara mengiklankan diri sambil berjalan masuk keluar kampung. Lama-lama bunyi Kencreng ini menjadi nama dan merk penyedia jasa "mhet-mhetan" in.
Awalnya para Kencreng ini digeluti lelaki dan perempuan, tapi lama-lama istilah Kencreng dimonopoli kaum wanita. Ya, namanya juga dimonopoli kaum hawa, biar ga sikut-sikutan juga, Kencreng-kencreng ini rupanya juga dibagi antara "Kencreng Kasar" dan "Kencreng Alus". Kencreng Kasar biasanya nampang di sembarang tempat, termasuk lobi losmen dan rumah penginapan. Usianya rata-rata sudah lebih dari separoh baya. Wajahnya, ya bisa dibayangin sendiri lah! Tentu saja sudah tidak "yaik" (bagus) lagi. Pelayanannya umumnya cuma sekedar memijit, mengurut dan melemaskan otot-otot konsumennya. Tarifnya tentu bisa diatur dengan tawar-menawar lebih dulu, kora-kora lima ribu rupiah per jam (jaman mbiyen!). Diluar tempat itupun urusan kencreng-mengencreng juga bisa dilakukan, bahkan di emper toko-toko emas yang kalau malam sudah pada tutup. Cukup dengan menggelar selembar tikar atau plastik. Anginnya yang mengendap di dalam tubuh keluar lewat glegekan, tapi angin dari luar masuk jugaaaaaa. Yahud to!
Lha kalau Kencreng alus, tempat dan cara kerjanya ya agak "alusan". Wajahnya sih rata-rata masih lumayan dan usianya masih memper lah, orang masih eSTeWe atawa setengah tuwo. Tapi boleh dibilang, tubuhnya bweeeeeehhhh! masih singset dan semok bin sintal! Pelayanannya tentu saja lebih istimewa dibanding Kencreng kasar. Bukan hanya memijat, mengurut dan melemaskan otot, tapi juga mau melayani "pekerjaan ekstra", tentu dengan biaya yang ekstra juga. Jumlahnya bisa diatur, baik biaya "servis" maupun biaya sewa kamar. Mau short-time atau long-time, terserah deal-dealan.
Selain
dari kampung-kampung di kota Semarang sendiri, Kencreng-kencreng itu rupanya
juga datang dari Demak, Mranggen, Wonogiri, dan lain-lain. Mereka sih keluar
hanya pada malam hari, jam dinasnya antara setelah bedug maghrib sampai tengah
malam. Umumnya berkelompok lebih dari tiga atau empat orang.
Salah
seorang purna-Kencreng yang berhasil diwawancarai sebut saja Mak Bibah, dia
sudah menekuni dunianya sebagai Kencreng sejak usia belasan tahun di sebuah
penginapan di bilangan jalan Pekojan. Usia Mak
Bibah saja (jaman semono, red) sudah
60 tahun lebih, tapi masih terlihat bohay aduhay! Usut punya usut, dulu mak-mak satu ini bekerja sebagai buruh
pabrik rokok “Pak Tani” , sedangkan suaminya seorang pegawai di Gementee (Kotapraja). Ketika pecah
perang, si suami pergi gerilya dan tak kembali lagi. Sejak itu, untuk
menyambung hidup, ia banting setir jadi Kencreng, kasar maupun alus-an. Semua sesuai kehendak tamunya.
Katanya sih dia enggan nikah lagi! Ya maklum, namanya juga sudah mendapat
nikmat lahir dan batin dari profesi Kencrengnya itu, hehe. Soal dosa atau
tidak, nanti dulu! “Lha wong saya
kerja suka sama suka kok”, katanya enteng.
Terus
bagaimana sama Kencreng-kencreng lelaki? Rupanya, mereka lebih suka mangkal di
sekitar stasiun, terminal, dan tempat-tempat pelayanan umum. Bisa ngebayangin
gak, ketika mereka lagi sepi? Paling nyambi
jadi kuli angkut barang, hehe. Mereka jarang mangkal di losmen atau penginapan,
ya dimaklumi saja, konsumennya jarang yang perempuan, lebih banyak lelaki. Jadi
dimana-mana Kencreng lelaki selalu kalah saing sama Kencreng perempuan, apalagi
gak mau lah ya ujung-ujungnya, maaf -- Terong-terongan ketemu terong yang lain,
hehe. Biar tetep bisa bersaing, mereka ternyata pintar juga, matok tarif yang tentunya juga lebih
murah dibanding Kencreng-kencreng wanita, sekitar dua/tiga rupiah (jaman semono,
red) selama satu atau dua jam. Boleh
juga lho dibooking semalam suntuk,
kalau mau. Tapi. . . ., tanpa pelayanan ekstra seperti Kencreng alus-alus lho! hehe.
“Creng.
. . . creng. . . . creng. . . .”, suara itu mungkin sudah tidak lagi terdengar,
tetapi para Kencreng ini akan tetap ada di pinggiran Jalan Pemuda (depan
Sriratu Pasaraya, red). Bermodal
selembar tikar, sebotol reumason atau
minyak angin dan sekeping uang kepengnya, mereka akan tetap setia menunggu
calon pelanggannya, meski derunya kemajuan cepat atau lambat siap menggilas
eksistensi mereka. Entah sampai kapan, mereka dapat bertahan!
Nukilan dari tulisan Djawahir Muhammad dalam buku "Semarang Sepanjang Jalan Kenangan".
maaf saya mau menanyakan tentang buku ini, bisa kah
BalasHapus